Dampak bonus demografi bisa menjadi manfaat atau bencana bagi perekonomian Indonesia di 2045, kata Ketua Dewan Pertimbangan KADIN Indonesia, Arsjad Rasjid.
Dia mengingatkan bahwa bonus demografi yang selama ini dianggap sebagai peluang emas, bisa berubah menjadi ancaman serius jika tidak dikelola secara tepat.
Menurutnya, tanpa penciptaan lapangan kerja yang memadai, dampak bonus demografi justru dapat menimbulkan krisis sosial dan ekonomi dalam jangka panjang.
“Bonus demografi Indonesia yang diprediksi mencapai puncaknya dengan lebih dari 70% penduduk usia produktif, bisa menjadi bencana demografi jika kita gagal menyediakan lapangan kerja formal yang cukup,” ujar Arsjad dalam sebuah forum pertumbuhan inklusif di Jakarta.
Untuk menjawab tantangan tersebut dan mengoptimalkan manfaat bonus demografi, Arsjad memperkenalkan strategi pembangunan berkelanjutan berbasis tiga pilar, yang ia sebut sebagai pendekatan “3G”:
1. Grow People
Arsjad menekankan pentingnya membangun kualitas sumber daya manusia sebagai syarat utama untuk memanfaatkan bonus demografi. Ia mengungkapkan bahwa saat ini hanya sekitar 10% tenaga kerja Indonesia yang memiliki pendidikan sarjana, sementara mayoritas lulusan hanya SMP dan SD. Bahkan, IQ rata-rata masyarakat Indonesia dikabarkan menurun, menunjukkan urgensi perbaikan sistem pendidikan dan pelatihan vokasi.
“Jika kita gagal meningkatkan kualitas SDM, maka kita gagal memetik manfaat bonus demografi,” tegasnya.
2. Gear Up Industry
Strategi kedua adalah mempercepat reindustrialisasi berbasis nilai tambah sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Arsjad menyoroti pentingnya hilirisasi sektor mineral, perluasan industri di luar Pulau Jawa, serta pelibatan aktif UMKM dalam rantai pasok industri nasional.
Langkah ini diperkirakan bisa menambah hingga USD 25 miliar pada Produk Domestik Bruto (PDB) dan menjadi solusi jangka panjang atas dampak bonus demografi jika tidak diimbangi oleh pertumbuhan industri padat karya.
3. Go Green
Pilar ketiga adalah menjadikan transisi energi sebagai peluang pertumbuhan ekonomi baru. Menurut Arsjad, ini mencakup re-skilling tenaga kerja dari sektor emisi tinggi, memperkuat pembiayaan hijau untuk UMKM, dan memastikan keterlibatan masyarakat lokal dalam proyek-proyek energi terbarukan.
“Transisi energi bukan hanya soal lingkungan, tapi juga membuka potensi besar untuk menciptakan pekerjaan baru yang berkelanjutan,” jelasnya.
Arsjad menekankan, jika ketiga pilar strategi ini dijalankan secara konsisten, Indonesia tak hanya bisa menangkap manfaat bonus demografi, tetapi juga mewujudkan pertumbuhan ekonomi inklusif yang kokoh dalam jangka panjang.***