Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyampaikan peringatan serius terkait kondisi pasar tenaga kerja di Indonesia yang semakin tertekan. Data terbaru BRIN menunjukkan lonjakan signifikan jumlah warga yang “putus asa” mencari pekerjaan, yakni mencapai 2,7 juta orang pada 2024, jauh lebih tinggi dibandingkan 883 ribu orang pada 2019. Angka ini menjadi indikator bahwa masalah ketenagakerjaan di Indonesia tidak hanya bersifat sementara tetapi struktural.
Menurut Kepala Pusat Riset Ekonomi Makro dan Keuangan BRIN, Zamroni Salim, pertumbuhan lapangan kerja nasional masih tidak sebanding dengan laju pertumbuhan angkatan kerja, sehingga semakin banyak warga yang akhirnya menyerah mencari kerja. Kondisi ini terkategori individu yang tidak lagi aktif melamar pekerjaan karena frustrasi dengan prospek yang tersedia.
BRIN mencatat bahwa kelompok yang putus asa mencari kerja tidak hanya berasal dari lulusan berpendidikan rendah. Meskipun lulusan SD mendominasi dengan proporsi tertinggi, peningkatan signifikan juga terlihat pada kelompok yang berpendidikan lebih tinggi. Hal ini mencerminkan bahwa gelar pendidikan formal tidak lagi menjamin kemudahan mendapatkan pekerjaan yang layak di pasar kerja saat ini.
Lebih lanjut, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional, angka pencari kerja aktif di Indonesia juga mengalami lonjakan tajam. Pada 2019, jumlah pencari kerja tercatat sebanyak 7,8 juta orang, sementara pada 2024 meningkat menjadi 11,7 juta orang. Dari jumlah tersebut, lulusan SMA dan SMK mendominasi, tetapi yang cukup mencolok adalah sekitar 11 persen pencari kerja merupakan lulusan sarjana (S1), menunjukkan bahwa sulitnya mencari pekerjaan juga dirasakan oleh para lulusan perguruan tinggi.
Data BRIN menunjukkan bahwa kelompok pencari kerja dengan latar belakang pendidikan tinggi — termasuk diploma dan sarjana — juga mengalami peningkatan. Ini adalah sinyal bahwa tantangan ketenagakerjaan kini merata di berbagai level pendidikan, melampaui stereotip yang hanya menempatkan pencari kerja berpendidikan rendah sebagai kelompok paling terdampak.
BRIN menilai bahwa kondisi ini mencerminkan masalah struktural dalam perekonomian nasional. Pertumbuhan lapangan kerja yang lambat dikombinasikan dengan meningkatnya jumlah angkatan kerja baru — termasuk lulusan pendidikan menengah dan tinggi — menciptakan tekanan besar pada pasar tenaga kerja. Banyak pencari kerja yang akhirnya terpaksa masuk ke sektor informal, di mana perlindungan sosial dan kepastian pendapatan cenderung rendah.
Situasi ini juga diperparah oleh tren global dan domestik yang mempengaruhi perekonomian Indonesia. Misalnya, gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai sektor industri pada tahun ini turut memperketat persaingan di pasar tenaga kerja. Selain itu, data statistik menunjukkan bahwa meskipun angka resmi pengangguran dapat fluktuatif, jumlah pencari kerja aktif dan mereka yang “putus asa” tetap menjadi sorotan serius bagi pembuat kebijakan.
