PEKANBARUPOS.COM (PPC),PEKANBARU – Sempat kolaps, pabrik kelapa sawit (PKS) PT Sumber Sawit Sejahtera (PT SSS) kembali beroperasi setelah diakusisi oleh PT Borneo. Namun hingga saat ini proses ini masih dipertanyakan, menyusul hutang PT SSS terhadap masyarakat empat desa di Kecamatan Pangkalan Kuras belum selesai.
Sekertaria komisi A DPRD Riau Suhardiman Amby mengatakan, dalam sidak yang digelar Pekan lalu, tim menemukan keganjilan. Di mana meski sudah diakusisi oleh PT Borneo, yang terdaftar secara administratif di dinas terkait masih PT SSS.
Selain itu, PT SSS juga diduga menampung buah dari kawasan ilegal, karena mereka tidak memiliki kebun sendiri untuk memasok tandan buah segar (TBS). Karena sejak kolaps, perusahaan tersebut tidak mendapatkan pasokan lagi dari plasma empat desa tersebut.
‘’Hasil kunjungan kami pekan lalu ditemukan beberapa hal ganjil dengan keberadaan perusahaan ini. Sebab meski sebagai PKS, perusahaan sama sekali tak memiliki kebun. Ini dalam peraturan perundang-undangan tidak dibenarkan. Dulu saat membuat pabrik yang mereka jadikan jaminan kebun empat desa itu, tapi kan akhirnya bermasalah. Jadi kalau sekarang beroperasi, kita patut pertanyakan buahnya dari mana,’’ ujar Datok, sapaan akrabnya. Jadi PT SSS ini adalah salah satu contoh kasus dari temuan pansus monitoring perizinal lahan yang kami bentuk beberapa waktu lalu, ada 119 perusahaan di Riau seperti ini,’’ sambungnya.
PT SSS sendiri mendapatkan izin memproduksi pengolahan TBS menjadi Cruide Palm Oil (CPO) sebanyak 90 ton per jam. Namun fakta di lapangan, perusahaan itu hanya memproduksi sebanyak 60 ton per jam. Diduga, jumlah izin yang diajukan hanya modus untuk mendapatkan modal pinjaman dari bank.
‘’Izinya 90, tapi yang terpasang 60. Ini patut kita duga jadi modus untuk mendapatkan kredit 90. Sisanya ya kita tidak tahu dikemanakan,’’ ujar Datok.
Pihaknya curiga perusahaan memanfaatkan masyarakat dengan cara menipu. Sehingga legalitas TBS yang masuk bisa saja berasal dari kebun-kebun masyarakat ilegal yang memanfaatkan kawasan hutan milik negara. ‘’Status buah harus jelas, asalnya dari mana. Kerja sama mereka dengan koperasi milik petani plasma saja tidak jelas. itu aturan Undang-undang lo. Kalau perusahaan menampung buah ilegal, sama saja sebagai penadah. Ini masuk ranah pidana,’’ tegas Suhardiman.
Dikonfirmasi, Senior Manager PT SS S Eben membantah bahwa perusahaanya telah diambil alih oleh PT Borneo. Ia menyebut bahwa antara perusahaannya dengan PT Borneo sifatnya hanya kerja sama.
‘’Tidak take over, cuma kerja sama. Memang pasca kolaps kami butuh modal makanya kita kerja sama dengan mereka. Nyatanya saya masih bekerja di situ,’’ kata Eben.
Soal hutang yang belum dibayarkan kepada petani plasma di empat desa, Eben menyebut bahwa pelunasannya akan dilaksanakan di April. Sebagian sudah dicicil di Januari lalu.
‘’Kami memang belum punya uang untuk langsung melunasi. Makanya kami cicil. Januari sudah kami bayar sebahagian, April nanti sisanya,’’ ujarnya.
Soal adanya tudingan bahwa buah dari kawasan ilegal, Eben juga menampiknya. Menurutnya buah yang saat ini diolah adalah buah masyarakat setempat yang non plasma. (adv)