PEKANBARUPOS.COM – Mobil listrik kerap dipromosikan sebagai solusi ramah lingkungan dan simbol masa depan transportasi. Namun bagi konsumen Indonesia hari ini, keputusan membeli kendaraan listrik bukan lagi soal ikut tren atau percaya iklan.
Di balik pilihan tersebut, ada proses berpikir yang semakin rasional dipengaruhi oleh kepercayaan, pemahaman emisi, serta kejelasan kebijakan publik yang mengaturnya.
Dalam perspektif psikologi konsumen, pengambilan keputusan merupakan hasil interaksi antara faktor kognitif (pengetahuan dan informasi), afektif (emosi dan sikap), serta normatif (nilai sosial dan moral). Untuk produk bernilai tinggi seperti mobil listrik, konsumen cenderung menjalani proses evaluasi yang lebih mendalam dan berhati-hati.
Penelitian mengenai preferensi konsumen kendaraan listrik BYD memperlihatkan bahwa konsumen Indonesia mulai mengandalkan reasoned decision making. Mereka aktif mencari informasi, membandingkan alternatif, dan menimbang konsekuensi jangka panjang dari keputusan yang diambil.
Dalam konteks ini, isu lingkungan tidak lagi bersifat simbolik, tetapi menjadi variabel rasional yang memengaruhi pilihan. Dari sudut pandang psikologi, greenwashing memicu apa yang disebut sebagai trust violation. Ketika konsumen merasa bahwa klaim ramah lingkungan sebuah merek tidak didukung oleh transparansi dan bukti nyata, muncul reaksi skeptis yang berdampak langsung pada preferensi dan niat beli.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa persepsi greenwashing berpengaruh negatif dan signifikan terhadap preferensi konsumen. Ini menegaskan bahwa konsumen tidak hanya menilai produk, tetapi juga integritas moral perusahaan. Dalam jangka panjang, praktik greenwashing berpotensi menciptakan decision fatigue dan sinisme publik terhadap seluruh narasi keberlanjutan.
Bagi pembuat kebijakan, temuan ini penting. Ketika regulasi dan standar klaim lingkungan tidak cukup ketat, ruang abu-abu bagi greenwashing semakin terbuka, dan kepercayaan publik terhadap agenda transisi energi dapat tergerus.
Berbeda dengan greenwashing, pemahaman konsumen mengenai konsep well-to-wheel emissions justru memperkuat kualitas pengambilan keputusan. Dari perspektif psikologi kognitif, informasi yang komprehensif dan konsisten membantu konsumen mengurangi ketidakpastian dan meningkatkan rasa kontrol dalam memilih.
Konsumen yang memahami bahwa emisi kendaraan listrik harus dilihat dari seluruh siklus energi—mulai dari sumber pembangkit hingga penggunaan—cenderung menunjukkan preferensi yang lebih kuat terhadap merek yang dianggap transparan dan realistis.
Dalam penelitian ini, pemahaman well-to-wheel emissions terbukti berpengaruh positif terhadap preferensi konsumen. Hal ini menunjukkan bahwa konsumen Indonesia mulai bergerak dari heuristic decision making menuju informed decision making, di mana data dan logika memainkan peran utama.
Keputusan konsumen tidak pernah berdiri sendiri. Ia dipengaruhi oleh konteks kebijakan, infrastruktur, dan narasi publik yang dibangun negara. Ketika pemerintah mendorong adopsi kendaraan listrik tanpa diiringi transparansi bauran energi dan standar emisi yang jelas, konsumen dihadapkan pada dilema kognitif.
Kebijakan publik yang kuat—seperti pelabelan emisi, standar klaim hijau, dan edukasi publik—dapat berfungsi sebagai decision aid bagi konsumen. Sebaliknya, kebijakan yang lemah justru memindahkan seluruh beban evaluasi kepada individu, yang tidak selalu memiliki kapasitas informasi yang setara.
Menariknya, temuan penelitian ini menunjukkan bahwa konsumen bukan hanya objek kebijakan, tetapi juga aktor tidak langsung dalam transisi energi. Preferensi yang menurun akibat greenwashing dan meningkat karena transparansi emisi memberikan sinyal pasar yang kuat kepada produsen dan regulator.
Dalam konteks ini, keputusan membeli atau tidak membeli mobil listrik menjadi bentuk partisipasi publik dalam kebijakan lingkungan. Pilihan konsumen berfungsi sebagai mekanisme koreksi terhadap praktik bisnis dan arah kebijakan yang tidak konsisten.
Mobil listrik adalah produk teknologi, tetapi keputusan untuk membelinya adalah keputusan psikologis dan politis sekaligus. Konsumen Indonesia semakin menunjukkan kedewasaan dalam mengambil keputusan—tidak mudah terbuai klaim hijau, namun responsif terhadap informasi yang transparan dan kebijakan yang kredibel.
Jika pemerintah dan industri ingin mempercepat transisi menuju transportasi berkelanjutan, maka fokus tidak cukup pada insentif dan promosi. Yang lebih penting adalah membangun ekosistem keputusan yang sehat: regulasi yang jelas, informasi yang jujur, dan konsumen yang diberdayakan. Pada titik inilah, pengambilan keputusan individu dan kebijakan publik bertemu—dan masa depan mobilitas berkelanjutan ditentukan.
Penulis: Prasastie Hutama Rohmatia
Mahasiswa S1 Tingkat Akhir Universitas Paramadina






