Kondisi manufaktur Asia semakin tertekan akibat lonjakan tarif Amerika Serikat (AS) dan agresivitas ekspor China, sehingga menjadi tantangan baru bagi perekonomian Asia. Tekanan ini tak hanya menekan ekspor Jepang dan Korea Selatan, tetapi juga memperlambat aktivitas pabrik di Indonesia, yang kini menghadapi prospek pertumbuhan industri yang makin tak pasti.
Menurut hasil survei swasta yang dirilis Senin, 2 Juni 2025, menunjukkan bahwa negara-negara seperti Jepang dan Korea Selatan terus mencatat kontraksi aktivitas pabrik akibat ketidakpastian kebijakan perdagangan Presiden AS Donald Trump, termasuk rencana tarif terhadap kendaraan impor.
Aktivitas manufaktur China, yang merupakan ekonomi terbesar kedua di dunia, juga tercatat menyusut untuk bulan kedua berturut-turut pada Mei. Survei resmi yang dirilis akhir pekan lalu mengindikasikan bahwa tekanan terhadap sektor industri Negeri Tirai Bambu masih berlanjut, memperburuk kondisi kawasan secara keseluruhan.
Menurut para analis, belum adanya kemajuan berarti dalam negosiasi perdagangan antara negara-negara Asia dengan AS membuat prospek sektor manufaktur tetap suram. “Sulit mengharapkan pemulihan signifikan dalam waktu dekat, apalagi dengan tarif ‘timbal balik’ yang tinggi,” ujar Toru Nishihama, Kepala Ekonom Pasar Berkembang di Dai-ichi Life Research Institute.
Ia menambahkan, lemahnya permintaan domestik membuat China mengekspor produk murah secara masif ke kawasan Asia, sehingga menambah tekanan deflasi dan merusak daya saing pabrik-pabrik lokal.
Data indeks Manajer Pembelian (PMI) Manufaktur dari Bank au Jibun Jepang menunjukkan angka 49,4 pada Mei, sedikit meningkat dibanding April namun masih berada di bawah batas 50,0 yang menandakan kontraksi, dan menjadi bulan ke-11 berturut-turut sektor ini menyusut. Sementara itu, Korea Selatan mencatat PMI sebesar 47,7, menandakan penurunan untuk bulan keempat berturut-turut akibat permintaan yang lemah dan tekanan tarif.
Kedua negara tersebut juga mencatatkan kontraksi ekonomi pada kuartal pertama 2025, menandakan bahwa hambatan eksternal masih terus menekan ekspor dan aktivitas perusahaan.
Sementara itu, ketegangan perdagangan antara AS dan China kembali meningkat. Presiden Trump menyebut China telah melanggar kesepakatan pengurangan tarif, sementara pihak Beijing menegaskan masih membuka komunikasi. Trump juga mengumumkan penggandaan tarif baja dan aluminium global menjadi 50%.
Di tengah ketegangan tersebut, Jepang dan AS menyepakati putaran pembicaraan dagang baru menjelang KTT G7 bulan Juni. Namun, Jepang menegaskan bahwa kesepakatan apapun tak akan dicapai tanpa pelonggaran tarif AS terhadap semua produk, termasuk mobil.
Selain Jepang dan Korea Selatan, negara seperti Vietnam, Indonesia, dan Taiwan juga mencatat kontraksi aktivitas manufaktur pada Mei, memperkuat sinyal bahwa tekanan ekonomi di Asia masih jauh dari kata usai.
— Reuters