HIRUK-pikuk Kota Magelang seketika sirna berganti dengan suasana tenang, damai. Belaian hembusan angin semakin menambat hati, siapapun rasanya ingin berlama-lama di sini.
Hamparan rumput yang luas membentang, memanjakan mata dengan bangunan-bangunan ikonik. Gerbang – gerbang dan monumen megah seolah mempertegas eksistensinya di lembah kaki gunung tidar yang memesona.
Tempat ini bukan komplek pemukiman biasa. Setiap jengkal tanahnya mengandung sejarah, terukir dalam berbagai prasasti dan dokumen yang masih tersimpan rapi di Akademi Militer Magelang, Jawa Tengah.
Cikal bakal Akademi Militer (Akmil) berawal dari berdirinya Militaire Academie (MA) Yogyakarta pada 31 Oktober 1945, berdasarkan perintah Kepala Staf Umum Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Letjen TNI Oerip Soemohardjo.
Akademi ini sempat meluluskan dua angkatan hingga tahun 1950, namun harus ditutup sementara karena kendala teknis. Para taruna angkatan ketiga kemudian melanjutkan pendidikan ke Koninklijke Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda.
Pada masa yang sama, di berbagai daerah seperti Malang, Mojoagung, Jombang, Salatiga, Tangerang, Palembang, Bukittinggi, Brastagi, dan Prapat, TNI AD mendirikan sejumlah Sekolah Perwira Darurat untuk memenuhi kebutuhan perwira. Selanjutnya, pada 1 Januari 1951, berdirilah Sekolah Perwira Genie Angkatan Darat (SPGI AD) di Bandung. Beberapa hari kemudian, tepatnya 13 Januari 1951, juga dibentuk Pusat Pendidikan Perwira Angkatan Darat (P3AD) di kota yang sama.
Seiring waktu, SPGI AD berganti nama menjadi Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) pada 23 September 1956. Banyaknya sekolah perwira yang muncul mendorong pimpinan TNI AD untuk mengusulkan pendirian satu lembaga pendidikan perwira yang terpusat. Ide tersebut pertama kali dikemukakan oleh Menteri Pertahanan dalam sidang parlemen tahun 1952.
Setelah melalui berbagai tahapan, Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, pada 11 November 1957 meresmikan berdirinya kembali Akademi Militer Nasional (AMN) di Magelang. Akademi ini menjadi kelanjutan dari MA Yogyakarta, dan taruna angkatan 1957 ditetapkan sebagai Taruna AMN angkatan ke-4.
Pada 1961, AMN Magelang diintegrasikan dengan ATEKAD Bandung dan tetap menggunakan nama Akademi Militer Nasional yang berkedudukan di Magelang. Namun, karena tiap matra (Darat, Laut, Udara, dan Kepolisian) masih memiliki akademinya sendiri, pada 16 Desember 1965, seluruh akademi angkatan digabung menjadi satu, yaitu Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI).
Untuk menyesuaikan kebutuhan organisasi, pada 29 Januari 1967, AKABRI di Magelang diresmikan sebagai AKABRI Udarat, yang terdiri atas dua bagian di bawah satu pimpinan: Bagian Umum dan Bagian Darat. Taruna Bagian Umum menjalani pendidikan tingkat I selama satu tahun termasuk Pendidikan Dasar Keprajuritan Chandradimuka, sedangkan Bagian Darat mendidik taruna tingkat II hingga IV.
Kemudian, pada 29 September 1979, AKABRI Udarat berubah nama menjadi AKABRI Bagian Darat. Melalui reorganisasi besar di tubuh ABRI, pada 14 Juni 1984, lembaga ini akhirnya resmi berganti nama menjadi Akademi Militer (Akmil), sebagaimana dikenal hingga kini.
Sindiran Jenderal Urip Sumoharjo
Akademi Militer didirikan pada masa ketika bangsa Indonesia sangat membutuhkan sumber daya manusia militer, terutama perwira. Saat Indonesia baru merdeka, negeri ini menghadapi kenyataan bahwa kita kekurangan perwira. Angkatan bersenjata pun belum terbentuk sebagaimana mestinya.
Presiden Soekarno pada waktu itu hanya mengizinkan pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), bukan angkatan bersenjata. Melihat kondisi ini, Jenderal Urip Sumoharjo pernah menyindir dengan kalimat yang kemudian menjadi sejarah, “Lucu, negara zonder tentara.”
Ia menilai aneh jika sebuah negara tidak memiliki tentara yang siap menjaga kedaulatan. Sindiran itu menggugah Soekarno untuk kemudian memberi izin membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dari sinilah lahir TKR yang hari kelahirannya, 5 Oktober 1945, kini diperingati sebagai Hari Ulang Tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam perjalanannya, TKR berkembang menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI), lalu menjadi TNI. Namun di tengah semangat perjuangan, ada kesadaran bahwa Indonesia masih kekurangan perwira yang berpendidikan militer formal.
Sebagian besar perwira saat itu berasal dari PETA (Pembela Tanah Air) atau Heiho, yakni tenaga bantuan yang dilatih Jepang. Sebagian lainnya mantan serdadu KNIL, tetapi umumnya hanya sampai pada tingkat bintara.
“Artinya, mereka belum pernah menempuh pendidikan keperwiraan yang sesungguhnya,” kata Gubernur Akademi Militer (Akmil), Mayjen TNI Rano Tilaar, dalam wawancara khusus dengan Bertuahpos, awal November 2025.Kondisi ini membuat berbagai divisi di tubuh TKR, TRI, dan TNI berinisiatif mendirikan akademi militer di sejumlah daerah, antara lain di Brastagi, Tangerang, Yogyakarta, Bandung, dan lain-lain.
Namun, usaha itu terhenti ketika terjadi Agresi Militer Belanda II, di mana pemerintah Indonesia yang dipimpin Soekarno-Hatta ditangkap dan dibuang ke luar daerah. “Belanda kemudian mengklaim bahwa Republik Indonesia telah demisioner,” tambahnya.
Pada masa itu, beberapa perwira Indonesia dikirim untuk menempuh pendidikan militer di luar negeri, salah satunya di Akademi Militer Breda, Belanda. Salah satu alumninya adalah Jenderal Rudini.
Setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) selesai, muncul gagasan untuk membentuk lembaga pendidikan militer yang lebih modern dan setara dengan akademi militer negara maju.
Ide besar ini datang dari Jenderal Gatot Soebroto, yang saat itu menjabat Wakil Kepala Staf Angkatan Darat.
Ia menilai bahwa Indonesia memerlukan akademi militer yang mampu melahirkan perwira-perwira berkualitas, baik secara mental, akademik, maupun fisik. “Pandangan itu membawanya melirik kota Magelang sebagai lokasi pendirian akademi,” kata Jenderal Bintang Dua itu.
Magelang memang sejak lama dikenal sebagai kota militer, bahkan peninggalan tangsi-tangsi Belanda masih banyak berdiri di sana hingga kini.
Di sinilah Gatot Soebroto menemukan tempat yang dulunya merupakan arena pacuan kuda peninggalan Belanda. Tempat itu kemudian diokupasi dan diubah menjadi kompleks Akademi Militer.
Bangunan pertama yang berdiri di sana adalah Main Hall, dirancang langsung oleh Gatot Soebroto sendiri.
Setelah pembangunan selesai, lembaga ini diberi nama Akademi Militer Nasional (AMN) dan diresmikan langsung oleh Presiden Soekarno pada 11 November 1957 pukul 11.11.
“Sejak saat itu, angka 11 menjadi simbol keramat bagi Akmil. Tradisi unik pun lahir — para taruna, ketika menutup makan, akan menyilangkan sendok dan garpu membentuk angka 11 sebagai penghormatan terhadap sejarah pendirian lembaga mereka,” ujarnya.
Seiring waktu, restrukturisasi besar terjadi di tubuh TNI. Lembaga pertahanan Indonesia kemudian disatukan dalam wadah Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI), yang terdiri dari Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian. Perubahan ini membuat nama Akademi Militer Nasional berubah menjadi Akabri Darat.
Di masa itu pula, lahir sistem pendidikan bersama bagi para calon perwira dari keempat matra dalam wadah Akabri Umum, yang kini dikenal sebagai Kawah Candradimuka — tempat pembentukan karakter, mental, dan disiplin para calon pemimpin bangsa.
Salah satu Gubernur Akademi Militer yang paling fenomenal adalah Mayjen TNI Sarwo Edhie Wibowo. Di masa kepemimpinannya, lahir banyak taruna berprestasi, salah satunya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
“Hubungan antara sang gubernur dan tarunanya ini berlanjut di luar akademi; SBY akhirnya menikah dengan putri Sarwo Edhie, Ani Yudhoyono. Kisah cinta ini menjadi bagian menarik dari perjalanan panjang Akademi Militer,” tutur Rano Tilaar.
Komponen Penting Penggerak Akademi Militer
Dalam kehidupan di lingkungan Akmil, dikenal istilah organik atau civitas akademika. Civitas akademika Akmil terdiri dari dua kelompok utama: gadik (tenaga pendidik) dan gapendik (tenaga pembantu pendidikan).
Para gadik bertugas langsung membina dan mengasuh taruna dalam resimen, sedangkan gapendik terdiri dari dosen dan instruktur yang mendukung proses pembelajaran. Mereka inilah yang berperan penting dalam menyiapkan para taruna menjadi perwira tangguh, profesional, dan berkarakter.
Misi Akademi Militer jelas: menyiapkan perwira masa depan yang siap menghadapi tantangan zaman.
Dunia militer modern telah berubah pesat. Perang masa depan bukan lagi pertempuran konvensional. “Kita kini menyaksikan bagaimana di Timur Tengah, peperangan dilakukan menggunakan drone, robot tempur, dan alutsista tanpa awak yang dikendalikan dari jarak jauh.”
“Namun, teknologi secanggih apa pun tidak akan berarti tanpa sosok manusia yang profesional di baliknya. Pepatah asing yang berbunyi a man behind the gun tetap relevan — senjata hanyalah alat, dan manusia yang mengendalikannyalah yang menentukan hasil pertempuran,” ujarnya.
Karena itu, Akmil terus menekankan keseimbangan tiga aspek utama dalam pendidikan taruna: sikap dan perilaku, intelektualitas akademik, dan kebugaran jasmani. Ketiganya menjadi fondasi penting bagi seorang perwira.
Prinsip ini sejalan dengan pepatah “di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.” Para taruna dilatih tidak hanya untuk berperang, tetapi juga untuk berpikir strategis dan berperilaku terhormat, baik di medan tempur maupun dalam karier mereka di masa depan.
Reno mengakui bahwa masuk Akademi Militer bukan perkara mudah. Dibutuhkan kesiapan fisik, mental, dan akademik sejak dini. Oleh sebab itu, penting bagi pemerintah daerah dan masyarakat untuk menyiapkan wadah bimbingan bagi calon taruna.
“Banyak daerah kini telah membuka bimbingan belajar (bimbel) khusus untuk calon Akmil, AAL, AAU, dan Akpol. Di Lampung dan Bandung, misalnya, terdapat banyak ruko yang menjadi tempat pelatihan calon perwira muda, lengkap dengan foto-foto peserta yang berhasil lolos. Ini menunjukkan pentingnya persiapan jauh hari. Sebagaimana pepatah lama berkata, ‘Ala bisa karena biasa. Kalau tidak biasa, pasti tidak bisa’.”
Bagi para pemuda yang ingin berbakti kepada negara melalui jalur militer, kesiapan sejak awal adalah kunci. Pendidikan di Akmil berlangsung tiga tahun dan menuntut objektivitas tinggi — hanya mereka yang disiplin dan konsisten yang mampu bertahan. Pesan bagi generasi muda sederhana: gantungkan cita-citamu setinggi bintang di langit, karena cita-cita itu akan menjadi kompas yang menuntunmu menuju tujuan hidup yang mulia.
Dan bagi mereka yang ingin menjadi perwira TNI, baik di Angkatan Darat, Laut, maupun Udara, hendaknya mengingat pesan abadi dari John F. Kennedy: “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang bisa kamu berikan kepada negara.”
Jika semangat itu menjadi dasar perjuangan, niscaya Tuhan akan mendengar dan memudahkan jalan bagi mereka yang benar-benar ingin mengabdi kepada Ibu Pertiwi.***
